Minggu, 23 September 2007

Kaum Homoseksual Kembali Kritik RUU

Kaum Homoseksual Kembali Kritik RUU
KUHP
[1/7/04]

Kaum gay, lesbian, biseksual dan
transeksual menilai RUU KUHP akan
gampang menjerat mereka sebagai pelaku
kriminal. Mereka ingin diskriminasi
hukum dihapuskan. Komnas HAM sudah
pernah menyurati Kapolri.

Dali Sembiring memang belum pernah
kesandung perkara alias berurusan
dengan aparat hukum. Tetapi mahasiswa
sastra Inggris di sebuah perguruan
tinggi di Yogyakarta itu mungkin punya
rasa was-was jika suatu saat nanti
mereka gampang dijerat aparat. Maklum,
sebagai seorang gay, eksistensi orang-
orang semacam Dali masih sering
mendapat stigma dan perlakuan negatif
dari masyarakat, termasuk aparat hukum.



Rasa was-was mereka makin bertambah
seiring masuknya ketentuan dalam RUU
KUHP yang mengkriminalisasi pelaku
hidup bersama tanpa terikat
perkawinan. Eksistensi mereka pun
belum mendapat tempat di hati tim-tim
calon presiden (capres) sebagaimana
terungkap selama ini.



Pada harian Sinar Harapan edisi 23
Juni 2004, terungkap bahwa mayoritas
tim capres menganggap homoseksual
sebagai penyakit masyarakat. Hanya
juru bicara tim Mega-Hasyim dan Hamzah-
Agum yang memberi tempat. Prilaku
seksual menyimpang itu tidak akan
dilegalkan, kata seorang anggota tim
SBY-JK.



Dalam konteks itulah, Dali dan
sejumlah orang yang mempunyai pilihan
hidup sebagai gay, lesbian, biseksual
dan transeksual menggelar konperensi
pers di kantor LBH Jakarta, Rabu
(30/06). Selain mengkritik pandangan
tim-tim capres, mereka juga
mempersoalkan RUU KUHP. RUU itu
sangat gampang mengkriminalisasi kaum
homoseksual, ujar Kamel, seorang
lesbian anggota Jaringan Warna-Warni.



Bisa jadi aturan yang dimaksud Kamel
adalah pasal 420 ayat (1) dan 422 ayat
(1) RUU KUHP. Kedua pasal ini
mengancam setiap orang yang melakukan
persetubuhan atau hidup bersama di
luar perkawinan sehingga mengganggu
kesusilaan masyarakat dengan hukuman
satu atau dua tahun penjara.



Kamel menduga masuknya aturan
kriminalisasi homoseksual ke dalam RUU
KUHP dilatarbelakangi pemikiran bahwa
komunitas mereka masih dianggap
sebagai penyakit masyarakat. Tentu
saja Kamel membantah komunitas mereka
merugikan masyarakat. Penyakit
masyarakat yang sebenarnya harus
diberantas adalah korupsi, ujar
perempuan berperawakan mungil itu.



Menurut Kamel, jalan terbaik adalah
mendapatkan pengakuan secara yuridis.
Tapi ia menyadari hal itu akan sulit
tercapai. Alih-alih mendapat pengakuan
dalam sebuah undang-undang, komunitas
kaum homoseksual merasa masih mendapat
perlakuan hukum yang diskriminatif.
Itu sebabnya tahun lalu mereka pernah
mengadu ke Komnas HAM.



Selain ancaman kriminalisasi dalam RUU
KUHP tadi, dalam pengaduannya
dikatakan bahwa polisi tidak pernah
menindaklanjuti pengaduan mereka
seputar kekerasan dalam rumah tangga
atau kekerasan oleh masyarakat. Mei
lalu misalnya, seorang isteri dibunuh
suaminya hanya karena sang isteri
memilih untuk menikmati kehidupan
seksual sebagai lesbian. Atas
pengaduan itu, Komnas sudah pernah
menyurati Kapolri.



Dalam surat tertanggal 16 Desember
2003 yang salinannya baru diperoleh
hukumonline, Komnas HAM meminta
Kapolri menertibkan jajarannya dalam
menjalankan tugas sebagai pengayom
seluruh warga masyarakat secara hukum,
termasuk komunitas gay, lesbian dan
transeksual.



Perjuangan Dali, Kamel dan kawan-kawan
bukan tanpa dukungan. Aktivis
perempuan Yenni Rosa Damayanti yang
mendampingi mereka menggelar
konperensi pers mengklaim banyaknya
dukungan secara pribadi dan
organisatoris, termasuk dari
organisasi keagamaan. Setidaknya
tercermin dari kehadiran wakil Fayatat
NU, Koalisi Perempuan Indonesia,
Lakpesdam NU dan Jaringan Islam
Liberal.



Dukungan personal misalnya datang dari
Sandrina Malakiano. Presenter sebuah
stasiun televisi swasta itu menilai
bahwa komunitas kaum homoseksual harus
diperlakukan sebagai manusia juga.
Tidak ada masalah sepanjang mereka
tidak merugikan

(Thx buat msg-nya Gita)

1 komentar:

  1. sama-sama Re...

    itu artikel aku dpt dr Nisrina Yk (B) gtu..

    sukses buat US ya..

    xoxoxo,

    Gita

    BalasHapus